Subsidi Tarif Tol Mobil Listrik: Masih Relevankah di Tengah Dominasi PLTU dan Kelebihan Pasokan Listrik Indonesia?


Oleh: Redaksi

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia agresif mendorong percepatan adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Berbagai insentif telah digelontorkan, mulai dari potongan pajak, diskon pembelian, hingga salah satu wacana terbaru: subsidi tarif tol untuk mobil listrik.
Kebijakan ini diharapkan mampu menurunkan biaya operasional pengguna EV, menarik minat pembeli baru, sekaligus mempercepat agenda transisi energi nasional.

Namun di tengah antusiasme tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah subsidi tarif tol untuk mobil listrik masih relevan, mengingat realitas bahwa pasokan listrik Indonesia masih didominasi PLTU batu bara dan sejumlah wilayah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply)?

Artikel ini menguraikan konteks lengkapnya, dengan melihat hubungan antara kebijakan mobil listrik, kondisi kelistrikan nasional, dan arah transisi energi Indonesia ke depan.


Dominasi PLTU Batu Bara dan Tantangan Energi Bersih

Meski gencar mempromosikan kendaraan ramah lingkungan, faktanya pembangkit listrik Indonesia masih bertumpu pada energi kotor. Data 2024 menunjukkan bahwa sekitar 85% kapasitas pembangkit nasional berasal dari energi fosil, dengan batubara memegang porsi terbesar lebih dari 50%. Sementara itu, energi baru terbarukan (EBT) baru menyumbang sekitar 15%.

Artinya, sebagian besar mobil listrik yang beroperasi di Indonesia saat ini mengisi daya dari listrik yang dihasilkan PLTU. Dalam konteks ini, EV tetap lebih efisien dibanding mobil bensin, namun tidak sepenuhnya “hijau”, karena sumber daya yang dipakainya masih memiliki jejak karbon tinggi.

Dengan kondisi tersebut, sebagian pihak mempertanyakan urgensi subsidi tol bagi EV: untuk apa memberikan insentif besar bila listrik yang digunakan masih kotor?


Oversupply Listrik: Tantangan yang Justru Membuka Peluang

Pertanyaan itu menjadi lebih kompleks ketika melihat kondisi kelistrikan Indonesia, terutama di sistem Jawa–Bali, yang mengalami kelebihan pasokan listrik. Pada 2023, oversupply diperkirakan mencapai 4 GW, sebagian besar akibat pembangunan pembangkit besar-besaran (termasuk program 35 GW) yang tidak diimbangi pertumbuhan permintaan listrik.

Kelebihan pasokan ini menimbulkan konsekuensi finansial berat bagi PLN karena skema kontrak take-or-pay. Dalam skema tersebut, PLN harus tetap membayar pembangkit swasta (IPP) meski listrik yang dihasilkan tidak terpakai.

Dalam situasi ini, bertambahnya konsumsi listrik justru menjadi solusi. Dan di sinilah peran mobil listrik menjadi sangat krusial.

Setiap EV yang beroperasi diperkirakan menyerap 2.000–3.000 kWh listrik per tahun. Jika adopsi EV tumbuh cepat, akumulasi konsumsi listrik dari jutaan kendaraan dapat membantu menormalkan kembali permintaan dan mengurangi dampak oversupply terhadap beban keuangan PLN.

Dengan kata lain: dalam kondisi oversupply, insentif EV—termasuk subsidi tarif tol—bukan sekadar relevan, tetapi strategis secara ekonomi.


Subsidi Tol: Dorongan Ekonomi, Bukan Sekadar Insentif Transportasi

Ada tiga alasan mengapa subsidi tarif tol dapat menjadi kebijakan yang relevan:

1. Mempercepat Adopsi EV dengan Menghadirkan “Value” Nyata

Bagi sebagian besar calon pembeli, mobil listrik masih dianggap mahal. Menurunkan biaya perjalanan—melalui potongan tarif tol—dapat menjadi penentu keputusan pembelian, terutama bagi komuter harian.

2. Menggerakkan Permintaan Listrik Nasional

Pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung stagnan. EV menjadi calon penyumbang permintaan baru yang stabil dan terukur, sehingga dapat mengurangi kapasitas pembangkit yang menganggur.

3. Mengurangi Beban Keuangan PLN

Semakin tinggi konsumsi listrik, semakin kecil pembayaran kompensasi take-or-pay yang harus ditanggung PLN. EV dapat membantu memperbaiki struktur biaya listrik nasional.


Namun Relevansi Itu Memiliki Catatan

Walaupun subsidi tol dapat memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, kebijakan ini hanya akan benar-benar efektif dalam konteks transisi energi jika dibarengi sejumlah langkah pendukung:

1. Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan

EV bukan hanya soal mobil berteknologi baru, tetapi bagian dari rantai besar transisi menuju energi bersih. Pemerintah harus mempercepat porsi EBT agar setiap kWh yang masuk ke baterai EV semakin rendah emisi.

2. Pengembangan Infrastruktur Charging

Subsidi tol akan kurang efektif jika jaringan SPKLU masih terbatas, terutama di luar kota besar. Akselerasi investasi swasta dan BUMN menjadi krusial.

3. Pemerataan Manfaat

Saat ini mayoritas pemilik EV berasal dari golongan menengah atas. Pemerintah perlu memastikan agar subsidi tol tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi sebagai transisi menuju transportasi yang lebih inklusif.


Kesimpulan: Relevan, tapi Harus Strategis

Jika melihat dari dua sisi—dominasi PLTU dan oversupply listrik—maka relevansi subsidi tarif tol untuk mobil listrik dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Dari sisi energi bersih: Manfaat lingkungan EV belum maksimal karena listrik masih kotor. Subsidi tol tidak secara langsung memperbaiki kondisi ini.

  • Dari sisi ekonomi sistem kelistrikan: Kebijakan ini justru membantu mengurangi oversupply, menambah permintaan listrik, serta meringankan beban PLN.

Oleh karena itu, subsidi tarif tol untuk mobil listrik tetap relevan, bahkan dapat menjadi alat kebijakan yang efektif selama ditempatkan sebagai bagian dari strategi transisi energi yang lebih besar—bukan kebijakan tunggal yang berdiri sendiri.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada dua langkah kunci:

  1. mempercepat bauran energi bersih, dan

  2. membangun infrastruktur EV yang kuat dan merata.

Tanpa kedua hal itu, mobil listrik hanya akan menjadi solusi setengah matang.



Komentar

Postingan Populer